IAKN Kupang (Kemenag) – Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan Kristen (FISKK) melalui Program Studi Pastoral Konseling Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang menggelar kuliah umum bertema “Pastoral Konseling dalam Konteks Multikultural” pada Kamis (11/9/2025) di kampus IAKN Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Rektor 1, Maryon D. Pattinaja, Ph.D, mewakili Rektor IAKN Kupang.
Kegiatan ini dipandu oleh Lilya F.K. Wetangterah, Ph.D. selaku moderator, dengan menghadirkan narasumber utama Pdt. Jemi Daga-Bailao, S.Si., M.A.PC., pendeta GMIT sekaligus Sekretaris AKPIN Yogyakarta. Sebanyak 250 mahasiswa FISKK hadir, terdiri dari mahasiswa Program Studi Pastoral Konseling dan mahasiswa lintas prodi yang tertarik pada isu konseling multikultural.
Ketua Panitia, Dr. Andrian Wira Syahputra, M.Sc., menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk: (1) meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang realitas Indonesia yang multikultural, (2) mengidentifikasi peran pastoral konseling di tengah keberagaman, serta (3) membuka ruang dialog akademik antara mahasiswa dan praktisi.
Dalam pemaparannya, Pdt. Jemi menekankan bahwa pastoral konseling di Indonesia harus berakar pada sensitivitas budaya. Indonesia memiliki lebih dari 1.300 kelompok etnis, 700 bahasa, serta keragaman agama, tradisi, dan orientasi sosial. Khusus di NTT, terdapat lebih dari 70 suku dengan kekayaan bahasa, adat, dan tradisi yang berbeda-beda.
Kondisi ini menuntut konselor untuk tidak etnosentris, melainkan mampu mendengar, memahami, dan menjembatani perbedaan.
Pdt. Jemi juga memperkenalkan strategi konseling antarbudaya yang meliputi: monobudaya, multibudaya, lintas budaya, dan antarbudaya. Ia menekankan tujuh prinsip dasar konseling antarbudaya, yaitu perjumpaan eksistensial, dunia berpilar tunggal, keselamatan bagi semua, kesadaran bahwa kita satu keluarga, keramahtamahan, empati dan mendengarkan, serta pengakuan bahwa pengalaman sama bisa diekspresikan dengan cara berbeda.
Lebih lanjut, ia menegaskan karakteristik konseling antarbudaya yang bersifat holistik, terpadu, lintas iman, dan pemberdayaan. Praktik konseling tidak hanya bersifat kuratif, tetapi juga preventif, promotif, serta memberdayakan komunitas melalui partisipasi aktif dan kearifan lokal.
Pdt. Jemi juga menguraikan kompetensi konselor budaya yang mencakup keyakinan dan sikap, pengetahuan tentang diri maupun konseli, serta keterampilan praktis. Konselor dituntut untuk menguasai teknik utama seperti active listening, empati, validasi emosi, hingga konfrontasi membangun. Dalam praktiknya, konseling dapat berlangsung jangka pendek (1–6 sesi) maupun jangka panjang (8–18 sesi), tergantung kebutuhan konseli.
Kuliah umum ini diakhiri dengan sesi diskusi interaktif. Mahasiswa antusias mengajukan pertanyaan seputar penerapan pastoral konseling dalam masyarakat plural, termasuk bagaimana menghadapi stigma, diskriminasi, dan konflik antarbudaya.*
Sumber : Panitia
Penulis : Merling Messakh
Administrator : Yermi Solukh
              
          
                                        
                                        
                                                                    
                                                                    
                                                                    
                                                                    
                                                                    
                                                                    
                                                                    
                                                                    
                                                                    
                                                                    


