Tag Archives: PENCARIAN IDENTITAS DIRI DAN PERTUMBUHAN IMAN REMAJA (Terbentuknya Identitas Diri Melalui Proses Sosialisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Iman) Marla Marisa Djami

PENCARIAN IDENTITAS DIRI DAN PERTUMBUHAN IMAN REMAJA

 

 

Marla Marisa Djami, M.Si
Dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Kupang
Email: marladjami@yahoo.com

PENCARIAN IDENTITAS DIRI DAN PERTUMBUHAN IMAN REMAJA
(Terbentuknya Identitas Diri Melalui Proses Sosialisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Iman)

Abstrak
“Kita menjadi siapa diri kita merupakan hasil dari interaksi kita dengan orang lain”, dan lingkungan sosial menjadi tempatnya. Masa remaja merupakan masa bertanya tentang siapa diri kita dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, maka masa ini merupakan masa paling ideal dimana proses sosialisasi dapat terjadi sehingga pengaruh-pengaruh dari proses sosialisasi akan diterima secara baik. Pengaruh-pengaruh yang diterima inilah yang kemudian pada akhirnya membentuk self identity-nya. Untuk itu maka lingkungan sosial menjadi faktor penting dalam proses pembentukan ini. Keluarga, Gereja dan Sekolah merupakan lingkungan sosial atau tempat dimana pengaruh terhadap pembentukan identitas diri dapat terjadi yang juga memberi pengaruh terhadap pertumbuhan iman remaja.

Kata kunci; identitas diri, iman, sosialisasi.

1. Identitas Diri & Masa Remaja

a. Identitas diri

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang. Sedangkan diri adalah seseorang (terpisah dari yang lain). identitas diri adalah ciri-ciri atau keadaan seseorang yang berbeda dengan orang lain. Identitas bisa dikatakan sebagai pembeda seseorang dengan yang lainnya. Sebuah identitas diri dapat terbentuk didalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Pembentukan identitas diri adalah hasil dari kerja keras seseorang dengan belajar dalam segala aspek lingkungan dan menggabungkannya menjadi sebuah bingkai yang indah di dalam kehidupan dan hal ini merupakan sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental.[1] Selain itu Stuart dan Sunden melihat Identitas diri (self-identity) sebagai kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh. Sedangkan Identitas diri menurut Rawlins adalah komponen dari konsep diri yang memungkinkan individu untuk memelihara pendirian yang konsisten dan karenanya memungkinkan seseorang untuk menempati posisi yang stabil di lingkungannya.

Seseorang dengan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga, kemampuan dan penguasaan diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya (Keliat, 1992). Salah satu dasar persepsi seseorang terhadap kecukupan peran yang diterimanya adalah ego yang menyertai peran, berkembang sesuai dengan harga diri. Pada akhirnya Harga diri yang tinggi adalah hasil dari pemenuhan kebutuhan peran dan sejalan dengan ideal diri seseorang (Stuart dan Laraia, 2005).[2]

Selain beberapa ahli diatas, Pdt. Dr. Daniel Nuhamara dalam bukunya Pembimbing PAK juga mengkaji secara khusus mengenai Identitas diri atau pribadi yang merupakan terjemahan dari self identity yang terdiri dari kata “self” dan “Identity”. Self (diri/pribadi) diartikan sebagai konsep yang mencakup tiga aspek yang saling berkaitan dari diri seseorang yakni gamabaran diri (self image) seseorang, sistem nilai (value system) seseorang, dan pandangan dunia (world view) seseorang. Sedangkan “idenntity” (identitas) diartikan sebagai pengalaman kontinuitas dan kesamaan (continuity and sameness) yang kita miliki tentang diri kita sendiri. Kedua konsep ini sangat berkaitan, sehingga para ahli lebih suka menggabungkan keduanya menjadi satu konsep yang disebut “self identity” (identitas diri/pribadi). Dengan demikian Groome mengartikan self identity sebagai kesadaran (awareness) yang berkelanjutan dan stabil yang kita miliki mengenai gambaran diri sendiri, pandangan dunia (hidup) serta sistem nilai yang dianut.[3] Ada juga ahli yang mengartikan identitas diri /pribadi adalah kesatuan dari tiga hal pokok yang dimiliki seseorang yang saling berkaitan, yakni sistem kepercayaan (believe system), sistem nilai (value system) serta bagaimana sistem kepercayaan dan sistem nilai itu memengaruhi pola tingkah laku (pattern of behaviour) seseorang.

b. Masa Remaja

Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga. Dimana usia tersebut merupakan perkembangan untuk menjadi dewasa. Oleh sebab itu orang tua dan pendidik sebagai bagian masyarakat yang lebih berpengalaman memiliki peranan penting dalam membantu perkembangan remaja menuju kedewasaan. Remaja juga berasal dari kata latin “adolensence” yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja memiliki tempat di antara anak-anak dan orang tua karena sudah tidak termasuk golongan anak tetapi belum juga berada dalam golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek / fungsi untuk memasuki masa dewasa.Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah: Masa peralihan di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.[rujukan?] Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.[4]

2. Lingkungan Sosial sebagai tempat menemukan identitas diri

Hampir semua ahli ilmu-ilmu sosial baik dibidang antropologi, sosiologi, pendidikan, dan psikologi menerima sebagai kebenaran bahwa lingkungan sosial (konteks sosial) mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan identitas pribadi seseorang. John Dewey seorang ahli pendidikan mengartikan pendidikan sebagai partisipasi individu dalam kesadaran sosial (social awareness) dari masyarakatnya. Menurutnya, pendidikan formal memainkan peranan yang lebih kecil dalam proses pembentukan kepribadian yang terjadi karena partisispasi seseorang di dalam kesadaran sosial dari masyarakatnya. Berpartisipasi dalam kesadaran sosial suatu masyarakat barangkali dapat diartikan sebagai interaksi individu dengan lingkungan sosial budaya dimana seorang individu itu hidup dalam masyarakatnya.[5]   Para ahli ilmu-ilmu sosial menerima pandangan bahwa kita dibentuk menjadi siapa kita (identitas pribadi) melalui interaksi dengan konteks sosial dan budaya. Pertanyaannya adalah seberapa jauhkan lingkungan sosial budaya menentukan identitas pribadi seseorang.

Masyarakat adalah tatanan yang terlembaga dengan pengaturan-pengaturan yang telah terorganisasi, yang umat wujudkan melalui cara hidup bersama mereka. Sementara itu budaya dipahami sebagai cara hidup yang terpola yang dihasilkan oleh suau umat (people) dimana anggota-anggotanya mempunyai penuntun untuk menilai, mempercayai, dan bertindak. Kebudayaan atau budaya diwujudkan serta diekspresikan dalam suatu sistem simbol-simbol, dan salah satu bentuknya yang paling dasar dan berpengaruh adalah bahasa. Dengan memahami simbol-simbol tersebut, umat bisa mengetahui dunia serta terlibat didalamnya dengan tingkah laku terpola dari kebudayaan mereka yang khusus.

Antara budaya dan struktur sosial masyarakat memang memiliki perbedaan, namun keduanya saling terkait. Pola-pola budaya tidak mungkin ada tanpa struktur-struktur sosial, demikian pula sebaliknya. Karena itu ahli-ahli sering menghubungkan keduanya dalam istilah sosio-kultural. Lingkungan sosio kultural diartikan sebagai keseluruhan ethos dari suatau kelompok umat yang stabil. Dengan demikian sosialisasi diartikan sebagai proses yang terjadi dalam keseluruhan ethos tersebut yang dapat mengahsilkan identitas diri pada seseorang.

Lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan identitas diri seseorang. Hal ini terjadi melalui interaksi individu dengan orang-orang dalam lingkungan sosial budayanya. Dan inilah yang dimaksudkan dengan sosialisasi. Sosialisasi merupakan proses dimana seseorang menjadi siapa dirinya (identitas dirinya terbentuk) melalui interaksinya dengan orang-orang lain dalam lingkungan sosio kulturalnya. Sosialisasi ini merupakan proses seumur hidup karena bagaimanapun juga manusia itu akan selalu hidup dalam hubungannya dengan orang lain. Jelaslah bahwa jumlah pengaruh yang diterima seseorang dari orang lain bervariasi sepanjang umur hidupnya. Artinya, jumlah pengaruh yang diterima seseorang waktu masih kecil berbeda dengan jumlah pengaruh yang diterimanya waktu ia sudah dewasa. Semakin dewasa seseorang, semakin kecil pula jumlah pengaruh yang diterimanya dari orang lain. Karena semakin dewasa seseorang, maka semakin kritislah dia, sehingga ia mampu untuk menyaring pengaruh-pengaruh yang datang dari luar atau dari orang lain.

Sosialisasi sendiri dibedakan menjadi sosialisasi sekunder dan sosialisasi primer. Sosialisasi primer berpusat pada masa kanak-kanak, yakni proses pembentukan paling awal dimana seorang anak membentuk konsep dirinya (self concept) ke dalam sektor-sektor dunia obyektif dari masyarakatnya. Para ahli berpendapat bahwa sosialisasi primer lebih permanen dan kuat dibandingkan dengan sosialisasi sekunder yang terjadi pada periode berikutnya dari kehidupan seseorang.

Dalam proses sosialisasi ada tiga konsep penting :

Sebagai manusia kita tidak dapat hidup sebagai unit-unit yang dapat berdiri (serba lengkap) dalam ruang lingkup tubuh kita. Kita mempunyai keharusan batiniah untuk bergerak keluar dari diri sendiri dan masuk kedalam hubungan dengan orang lain. Untuk mengeksternalisasikan diri sendiri, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dan kapasitas serta kemungkinan-kemungkinan kita, kita harus masuk bersama-sama dengan orang lain kedalam kolektivitas. Dalam kebersamaan itu kita mengembangkan struktur-struktur, perkakas (peralatan), dan pengaturan-pengaturan yang mendukung keberadaan kita untuk saling memerhatikan satu sama lain. Dengan demikian, kita mencapai persetujuan dan pengharapan-pengharapan bersama serta pola-pola untuk menciptakan makna dari kebersamaan itu. Kita menentukan cara-cara menyatakan serta mempertahankan peraturan-peraturan dan persetujuan-persetujuan tersebut. Dari usaha eksternalisasi bersama itu, maka lahirlah masyarakat dan berkembanglah kebudayaan. Tanpa eksternalisasi maka tidak akan ada kebudayaan dan masyarakat.

1. Obyektivikasi

Struktur sosial dan pola-pola budaya hasil dari aktivitas eksternalisasi merupakan realitas sosial yang menciptakan batasan-batasan tertentu dimana anggota-anggotannya diharapkan bertingkah laku. Jika masyarakat mau mengatur dan mempertahankan dirinya, maka beberapa individu dan kelompok harus mempunyai otoritas untuk mengaturnya demi kebaikan bersama. Selanjutnya harus dikatakan juga bahwa jika bentuk dan struktur dari dunia sosial kita hendak dipertahankan, maka ia akan tetap bertahan lama dengan ketaatan yang buta terhadap yang berwewenang (penguasa). Batas-batas dan aturan-aturannya harus masuk akal dan benar kepada kita. Karena itu, dibutuhkan sistem-sistem legitimasi dan struktur yang masuk akal, yang membuat pengaturan kini nampak sah dan dapat dibenarkan. Untuk itu masyarakat menciptakan ideologi-ideologi yang tepat untuk kebutuhannya. Dengan rumusan yang sederhana, maka ideologi dapat diartikan sebagai suatu pandangan dunia yang menyeluruh yang menciptakan atau memberikan makna tentang dunia sebagai mana adanya dan dengan demikian mensahkan serta membuat masuk akal suatu lingkungan sosial budaya tertentu. Ideologi memperoleh pernyataannya dalam dan dipertahankan oleh simbol-simbol. Dengan memahami simbol-simbol yang dipegang dan dipakai bersama, dimana bahasa adalah yang paling mendasar, maka umat datang pada pemahaman akan ideologi kelompoknya.

2. Internalisasi

Setelah mengeksternalisasikan diri sendiri kedalam kebudayaan dan masyarakat atau setelah nilai-nilai kebudayaan dan masyarakat itu hidup dari dirinya sendiri, maka penguatan serta pembatasan-pembatasan dari dunia itu sekarang dibawa kepada kesadaran dan menjadi milik seseorang secara pribadi. Jadi proses menjadikan pandangan dunia, sistem nilai dan pola bertindak dari lingkungan sosial budaya menjadi milik sendiri adalah proses internalisasi. Dan hal inilah yang menjadi dasar dari identitas diri.

Dapat dikatakan proses sosialisasi terjadi melalui ketiga tahap diatas. Dan pada akhirnya proses menjadikan sistem kepercayaan dan pandangan dunia serta sistem nilai dari kelompok masyarakat dimana kita menjadi bagian didalamnya melalui interaksi sosial disebut sosialisasi. Dalam proses sosilaisasi ini, lingkungan sosial menjadi tempat dimana interaksi sosial antara masarakat terjalin untuk membangun kehidupan bersama yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan identitas diri tadi. Dapat dikatakan selalu ada Hubungan timbal-balik antara Pembentukan identitas diri dalam hubungan sosialnya dengan pengaruh lingkungan sosial terhadap pembentukan identitas diri seseorang.

Selanjutnya di paparkan Beberapa pendapat dari para sosiolog mengenai hubungan timbal-balik individu dan masyarakat yang berpengaruh terhadap pembentukan identitas diri;

  • Georg Simmel, Sebagai seorang Sosiolog ia memberikan suatu konsepsi yang jelas mengenai pokok permasalahan yang terpat dalam sosiologi. Ia berpendapat bahwa masyarakat itu muncul dengan sendirinya. Baginya, sosiasi itu merupakan interaksi timbal-balik. Melalui proses ini dimana individu saling berhubungan dan saling memperngaruhi, masyarakat itu sendiri muncul. Proses sosiasi sangatlah bermacam-macam, mulai dari sepintas lalu antara orang-orang asing ditempat-tempat umum sampai ke ikatan persahabatan yang lama dan intim atau hubungan keluarga. Sosiasi adalah bentuk di mana individu-individu menjadi bersama dalam satuan-satuan yang memuaskan kepentingan-kepentingan mereka[6] tidak dapat tidak, selalu ada hubungan antara satu indvidu yang satu dengan lainnya, yang sudah tentu akan memberi pengaruh.
  • Talcot Parsons, seorang tokoh terkemuka dari pendekatan fungsional melihat sistem-sistem sosial terbentuk dari tindakan-tindakan sosial individu. Dinamika suatu hubungan sosial akan mencerminkan orientasi timbal balik antara dua orang atau lebih, bukan hanya orientasi pada satu orang. [7] hal ini berarti yang namanya masyarkat selalu merupakan hubungan antara individu yang satu dengan lainnya.
  • George H. Mead[8] Membangun teori dengan menggabungkan antara fenomena mikro dan makro, menyatakan bahwa ada tiga elemen yang berhubungan dengan individu, yakni individu biologis, masyarakat mikro, dan masyarakat makro. Masyarakat mikro mulai memengaruhi individu, kemudian disusul masyarakat makro. Dan barulah pengaruh lingkungan fisik. Dari ketiga pengaruh itulah kemudian muncul perilaku. Terdapat hubungan timbal–balik antara perliaku dengan individu biologis tersebut, yang kemudian memengaruhi masyarakat mikro, makro dan lingkungan fisik.

Menariknya Mead memberikan penjelasan tentang masyarakat tersebut dimulai dari sesuatu yang bersifat makro, dengan terlebuh dahulu memulai pada anggapan dasar bahwa manusia merupakan makhluk atau individu biologis. Tidak selamanya individu menjadi makhluk biologis, sebab adanya interaksi sosial. Uniknya, interaksi sosial tidak hanya berjalansekali tetapi berlangsung terus menerus. Pada awal individu, ia benar-benar sebagai makhluk bologis yang polos yang dipengaruhi lingkungan, tetapi setelah masuk dalam kehidupan sosial, ia memengaruhi kehidupan sosial itu.

Mead kemudian berbicara mengenai simbol karena simbol digunakan dan didefinisikan sesuai penggunaan dalam interaksi sosial. Simbol mewakili apapun yang individu ssetujui. Secara definitif, Shibutani menyatakan pengertian tentang simbol yang lebih lebih khusus sebagai :

“any objects, mode of conduct, or word toward which men act as if it were something else. Whatever the symbol stand for constitute the meaning” (Shibutani dalam Joel M.Charon 1989 : 39).

Dari kutipan diatas bisa dikatakan bahwa sesuatu merupakan simbol jika ada sesuatu yang lain yang terdapat didalamnya. Simbol bersifat luas , sehingga yang dimaksudkan disini tidak hanya dihubungkan dengan warna semata, tetapi juga bisa ditampakkan pada bentuk lain yang bersifat beragam seperti bahasa (languange), Bahasa tubuh (body languange), ekspresi muka (facial expresion), keras-lemahnya suara (loud-weak of voice), dan budaya (custom). Mead menyatakan bahwa mengkaji simbol dalam kehidupan manusia menjadi penting, karena disebabkan makna (meaning) yang ditujukan. Bentuk-bentuk seperti objek, gagasan, keyakinan, orang, nilai-nilai, dan kondisi sesuatu, semuanya bisa diakui keberadaannya oleh manusia, disebabkan makna-makna yang dimiliki dan terdapat didalamnya. Penggunaan subyek-subyek untuk menunjuk objek-objek dalam lingkungan. Tulisan Mead yang tidak kalah pentingnya adalah pembicaraan tentang mind. Mead menyatakan bahwa mind adalah tindakan yang menggunakan simbol-simbol dan mengarahkan simbol-simbol tersebut menuju self. Mind bersifat sosial, ia hidup diluar individu, tetapi juga dimasukkan individu dalam dirinya.

Untuk memberikan gambaran tentang interaksi sosial, Mead juga menjelaskan tentang arti pentingnya self. Self akan berkembang dan lengakap jika seseorang secara relatif yakin bahwa makna yang diberikan individu pada simbol hampir sama dengan makna yang diberikan dari orang lain. Simbol digunakan untuk berkomunikasi dengan self. Simbol juga bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Berkat pengembangan-pengembangan simbol tersebut, self pun bersifat dinamis. Ia akan mengalami perubahan-perubahan setiap saat ketika individu-individu berinteraksi.

Mengutip Mead, John J. Macionis menyatakan bahwa self sebagai a dimension of personality composed of an individual’s self awarenessnand self image. Berkaitan dengan kesadaran diri dan bayang-bayang berarti letak self tidak di luar, tetapi dalam diri individu. Sekalipun di dalam individu, tetapi self selalu berinteraksi dengan dunia luar (other). Karenanya kembali pada Mead, self bisa dibedakan menjadi dua unsur, yakni I dan me. Sekalipun jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, baik I dan me artinya sama-sama “saya”, tetapi kalau dikaji lebih mendalam kedua kata ini memiliki konteks tidak sama. I biasa digunakan dalam konteks sebagai subjek, sedangkan me lebih kepada saya sebagai objek. Peran masing-masing tidak sama dan tidak bisa dipisahkan. Mustahil bisa menjelaskan I tanpa penjelasan tentang me. Demikian juga, kita tidak bisa menjelaskan me tanpa penjelasan tentang I. Oleh karena itu terbangunnya self, dari individu tidak lepas dari hasil percakapan antara I dan me.

Untuk keperluan analisis, kita bisa memrinci dan mengenali watak masing-masing. Watak-watak dari I adalah :

  1. Aspek spontanitas dari self. Karena sifat ini, ia memberi tanggapan yang tidak teramalkan dan unik pada berbagai situasi. I juga bertugas memberikan tanggapan pada me.
  2. Bagi I, norma dan makna menjadi bervariasi dan ditafsirkan seperti yang diinternalisasikan.
  3. Menyediakna sebuah penjelasan dari elemen yang kreatif dan dinamis dalam perilaku manusia. Oleh karenanya, temuan-temuan kreatif dari tingkah laku manusia banyak dihasilkan oleh I.
  4. Sebagai reaksi individu atas situasi, I memiliki sifat-sifat seperti spontan, tidak terorganisasi, tidak terencanakan, tidak teramalkan, dan tidak dapat diperhitungkan.
  5. Dalam situasi interaktif, perilaku partisipan tidak pernah teramalkan secara lengkap dari pengetahuan harapan sosial.

Dari gagasan diatas, bukan berarti I bersifat antisosial, karena seakan tidak kompromis dengan nilai-nilai masyarakat. I semata-mata sebagai sumber yang tidak diharapkan atau tindakan mendesak. Bisa jadi beberapa temuan ini mungkin bernilai, tetapi yang lain justru secara sosial tidak bermanfaat atau justru membahayakan.

Sementara itu, me memiliki watak-watak sebagai berikut :

  1. Ia perwujudan situasional dari generalized others, dimana me merupakan kerangka terorganisasi dari standar masyarakat yang diinternalisasi individu. Mead menyatakan bahwa kesadaran me adalah sifat yang sama seperti yang muncul dari tindakan orang lain pada dirinya (Here again, me consciusness is of the same character as that which arises from the action of other upon him). Atau John D. Baldwin menyatakan dengan kalimat lain, “me is the self that we see an object when we observe our self from the role or other”. Me menyatakan bahwa setelah kita mendengar kata-kata kita kita menanggapi pada diri kita sebagai objek pengamatan. Oleh karena itu, kesadaran akan me muncul setelah kita melakukan pengambilan peran. Masih kata Baldwin, proses ini mengambil tempat lewat kemampuan untuk meletakkan.
  2. Di dalamnya terdapat norma, nilai, definisi dan makna yang telah diinternalisasikan oleh individu dari kelompok sosial. Oleh karena itu, me adalah kendaraan untuk pengaturan self dan kontrol sosial. Sementara, I bersifat kreatif sedangkan me menyusun batasan dan memaksakan struktur yang berdasar pada nilai-nilai sosial. Sesuatu yang baru muncul dari I, tetapi struktur bentuk dari self merupakan satu hal yang biasa, yang menurut adat muncul dari me.
  3. Mampu mendeteksi konsistensi normatif dengan mengungkapkan self yang terorganisasi dan memiliki stabilitas tertentu.
  4. Mekanisme konfornitas dan kontrol yang ada dalam individu membawa pengaruh dalam kondisi yang benar dalam situasi yang terjadi.

Melihat perbedaan masing-masing, sekalipun individu memiliki self yang terdiri atas dua unsur yang sama (I dan me), tetapi pada kenyataannya, mereka bertingkah laku tidak sama. Kategori pertama, ada individu yang terampil menjaga keseimbangan penggunaan I dan me. Kategori kedua, individu yang terampil menggunakan I, tetapi kurang terampil dalam ber-me. Sementara itu, kategori ketiga, individu yang lebih terampil menggunakan me, tetapi tidak untuk ber-I. Atau dengan kalimat lain, bahwa tingkah laku individu tidak lepas dari manakah yang dominan diantara keduanya.

Untuk melepaskan diri dari pola kebiasaan lama yang konvensional dan mengembangkan alternatif yang baru, seorang seniman mengembangkan secara kuat I, dan sebagian menolak kebiasaan dari me. Bagi orang-orang yang berjiwa kreatif, bentuk-bentuk konvensional direduksi menjadi sangat minim. Berbeda dengan orang tersebut, demikian juga orang-orang yang memiliki watak konservatif, mereka akan mengembangkan melebih banyak ketimbang I-nya. Ia akan menuntun tindakan mereka menyesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat dan meminimalkan penyimpangan personal dari norma.

Kita bisa menyaksikan antara mahasiswa aktivis dengan tokoh adat pada sebuah kampung. Dalam perspektif di atas, manakah yang membedakan diantara keduanya ? Ternyata, ini berkenaan tentang bagaimana memperlakukan diri masing-masing. Mahasiswa aktivis selalu saja berpikir keras untuk menciptakan hal-hal yang serba baru, maka yang berperan dominan pada self-nya adalah I. Tidak jarang, I berani melawan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan yang telah terpelihara di masyarakat. Ia juga berani menegaskan hal-hal yang nyta-nyata berbeda dengan kebenaran umum yang dimiliki masyarakat. Sedangkan, tokoh adat memiliki sifat kontras sebaliknya. Sesuatu yang dijadikan acuan untuk bertingkah laku, yakni yang sesuai dengan kepercayaan atau kebiasaan yang terlembaga di masyarakat. Sekalipun ia memiliki pandangan tersendiri atas hidup, tetapi ia selalu saja menyandarkan pada kebenaran, seperti yang terdapat pada nilai-nilai sosial itu.

Selanjutnya sosialisasi dijelaskan oleh Mead, sebagai individu yang mempelajari makna yang berubah-ubah dari simbol yang berarti. Individu mempelajari makna yang berubah-ubah dari simbol yang berarti. Individu mempelajari evaluasi simbolik (misal, baik / buruk) diletakkan pada kondisi dan kesesuaian dengan ciri-ciri tertentu dari perilaku dalam peran-peran tertentu. Individu harus mendapatkan bekal simbol-simbol yang cukup, karena ia harus melakukan “take the role of the other” (mengambil peran orang lain). Sekalipun paa kehidupan sosial, individu bertemu dengan banyak orang, banyak model, dan tentunya pula banyak peran, tetapi tidak semua mereka terima atau adopsi. Matang tidaknya proses mengambil peran tidak lepas dari pengembangan self yang dimiliki masing-masing individu. Semakin banyak mengambil peran dari individu lain, maka self semakin berkembang dengan baik. Proses pengambilan peran ini dimulai sejak bayi sampai dewasa. Misalnya, anak kecil yang baru senang-senangnya menirukan peran orang lain. Ia berpura-pura sebagai ayah, sebagai ibu, atau memainkan peran lain yang telah dikenal. Dalam cara ini anak dapat menghasilkan tingkatan tertentu dari objektivitas tentang sara “orang lain”melihatnya dengan bermain. Sebagai awal, hanya satu peran yang dimainkan secacra imajinatif. Tahapan seperti tersebut dikatakan Mead sebagai play stage (tahapan permainan).

Setelah selesai play stage, kemudian diteruskan pada tahapan “game stage”. Pada konteks ini, sejumlah peran diinternalisasi secara simultan dan diramalkan tentang pemilik masing-masing peran, kemudian akan dilakukan dalam hubungan dengan orang lain. Pada konteks ini, si anak kecil tidak hanya memahami satu peran saja. Tetapi ia mampu memahami pula peran-peran dari pihak lain. Dengan kata lain, individu memahami seperangkat peran (role set). Ibarat permainan sepak bola, anak tahu betul peran sebagai penjaga gawang. Selain itu ia juga mengerti peran-peran yang harus dimainkan oleh penyerang, gelandang kiri-kanan, wasit, dan peran-peran lain dalam pertandingan sepakbola.

Setelah game stage, baru kemudian individu mengembangkan banyak peran orang lain pada banyak situasi. Dengan mengambil contoh diatas, individu tidak hanya memahami peran-peran pada pertandingan sepak bola saja, ia juga mengerti perna-peran yang harus dimainkan dalam pertandingan-pertandingan lain. Dari sini setiap individu pasti membutuhkan generalized other yang menekankan the general cultural norms and values shared by us and other that we use as a pointcof reference in evaluating ourselves.

Mead menggambarkan hubungan individu dengan masyarakat makro dan mikro, dan lingkungan fisik yang pada akhirnya akan membentuk identitas diri seseorang, individu saling berhubungan dan bertukar peran untuk mengenali identitasnya dengan menggunakan simbol-simbol yang ada. Selanjutnya, Untuk lebih memahami self, ia lebih jauh meninjau I dan me dengan wataknya masing-masing dan bagaimana menjalankan peran mereka sehingga pada akhirnya membentuk self seseorang. Jadi sampai pada pembentukan identitas seseorang menurut sosiolog diperlukan adanya hubungan yang dibangun dengan orang lain di luar dari dirinya sendiri. Karena pembentukan identitas ini terjadi secara perlahan-lahan dan paling dapat mungkin terjadi prosesnya pada masa remaja maka pada masa remaja ini dengan siapa dan dimana remaja ini bersosialisasi menjadi penting.

3. Pengaruh Hubungan Sosial Remaja terhadap Pertumbuhan Imannya

Iman merupakan kekuatan batin dengan mana manusia menanggapi sesuatu yang bermakna, entah itu kekuatan gaib, entah Roh Tertinggi (Tuhan). Kekuatan-kekuatan ini dianggap sebagai yang suci atau sakral. Ia memiliki kuasa yang lebih tinggi, yang dapat memberi pengaruh baiknya kepada manusia. Oleh karenanya manusia mengadakan hubungan dengan “yang baik” itu langkah paling jauh yang dilakukan manusia ialah: penyerahan diri secara menyeluruh kepada yang gaib itu. Iman yang sedalam itu hanya ditemukan pada agama yang mengajarkan bahwa yang gaib itu adalah suatu pribadi tertinggi. Iman yang sedemikian itu bersifat khas pribadi (strict personal), untuk itu menurut Hendropuspito, masalah iman yang demikian tidak dapat dicampuri pihak luar entah yang namanya golongan maupun negara. Sehingga iman dalam arti ini juga tidak dapat menjadi sasaran sosiologi agama.[9]

Namun, walaupun demikian seperti halnya dalam pembentukan identitas diri seseorang selalu mendapat pengaruh maka dalam lingkup imanpun pengaruh-pengaruh sosial selalu terjadi. Misalnya sseseorang yang dilahirkan ditengah-tengah keluarga Kristen akan serta-merta menganut kepercayaan yang sama dan memiliki komunitas iman yang sama dengan keluarganya yakni Kristen. Namun yang menjadi masalah adalah pertumbuhan iman yang seperti apa. Ini tergantung pada pribadi seseorang bagaimana ia menyaring pengaruh-pengaruh dari pihak luar dan pengajaran-pengajaran agama dalam rangka pertumbuhan imannya. Tetapi karena masalah iman sangatlah bersifat pribadi sehingga setelah mendapat pengaruh-pengaruh dari luar, menjadi tugas dari pribadi tersebut untuk bagaimana selanjutnya membangun pertumbuhan iman yang baik dengan Tuhannya. Bagaimana iman seseorang terhadap Tuhannya adalah lingkup yang sangat pribadi baginya. Namun dalam pertumbuhannya tentu selalu mendapat pengaruh dari pihak luar yakni atau dari proses sosialisasinya dan juga bentuk-bentuk pengajaran agama yang diterima. Tempat terjadinya proses sosialisai dan proses pembelajaran inilah yang menjadi pembahasan selanjutnya.

Dalam pertumbuhan iman seorang individu, masa remaja adalah masa yang paling ideal dimana nilai-nilai agama harus ditanamkan. Karena masa remaja sebagai suatu masa pembentukan sikap-sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu sehingga pada fase inilah perlu dan penting dilakukan penaman nilai-nilai pendidikan agama.

Seperti yang telah dituliskan bahwa sebuah proses sosialisasi penting dalam rangka pembentukan identitas diri maka tentunya tidak terlepas dari penanaman nilai-nilai agama yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan imannya sehingga pada akhirnya diharapkan terbentuknya identitas diri seseorang bersamaan dengan pertumbuhan iman yang baik pula. Lingkungan sosial tersebut dimulai dari komunitas paling kecil yaitu interaksi sosial dalam keluarga, kemudian dalam interaksi dan hubungannya dengan orang lain yang seiman atau memliki kepercayaan yang sama (dalam hal ini Kristen) di lingkungan jemaat gereja, dan interaksi-interaksi sosial yang terjadi pada usia remaja yakni di sekolah sekaligus sebagai tempat pengajaran dan penanaman nilai-nilai agama.

a. Keluarga

Pada umumnya keluarga memang besar nilainya bagi manusia. Ilmu sosiologi menjunjung keluarga sebagai kesatuan pokok bagi seluruh masyarakat. Jikalau keluarga kukuh dan sehat, masyarakat umumpun turut menjadi kukuh dan sehat pula. Keluarga itu suatu persekutuan yang terdiri dari orang-orang yang saling terikat oleh ikatan darah dan perhubungan sosial yang paling rapat.[10] Keluarga merupakan lingkungan sosial terkecil dimana seorang individu membangun interaksi sosialnya. Bagaimana seorang anak tumbuh menjadi dewasa sangat dipengaruhi oleh keluarga. Dalam hal ini tentunya juga dalam masa remajanya dimana ia ada dalam masa-masa pembentukan identitas diri. Keluarga merupakan tempat dimana seorang remaja berkembang.

Dalam konsep sosialisasi, pembentukan identitas diri itu dilakukan melalui proses sosialisasi. Menurut banyak ahli, proses sosialisasi terjadi melalui observasi dan imitasi terhadap tingkah laku model sosial, dalam hal ini orang-orang dekatnya. Dalam konteks keluarga, orang-orang dekat dari anak-anak adalah orang tua mereka. Sosialisasi ini semakin efektif jika antara individu yang disosialisasikan dan model sosial memiliki hubungan yang erat (penuh kehangatan) dan relatif terjadi dalam waktu lama. Hal-hal yang mendorong seseorang untuk imitasi dan internalisasi model sosialnya ialah jika ia mempunyai kesempatan untuk mengamati model tersebut dalam berbagai situasi kehidupan, dimana model tersebut menyatakan tingkah laku maupun sistem kepercayaan dan sistem nilai yang melandasi tingkah laku tersebut. Untuk itu maka hal-hal tersebut dapat terjadi dalam konteks keluarga. Disini jelas bahwa terjadi proses sosialisasi yang efektif, orang tua harus menjadi model yang baik dari iman kristiani agar menjadi panutan yang efektif bagi internalisasi sistem kepercayaan, nilai, dan pola tingkah laku kristiani. Keluarga kristen merupakan setting PAK yang cukup strategis bagi pertumbuhan iman kristen seorang remaja sekaligus

Dalam penerapan pendidikan agama kristen misalnya, keluarga merupakan setting utama dan pertama. Tidak lain karena peranan orang tua dalam mengasu anak-anaknya adalah sangat penting. Orang tua khususnya berperan sebagai agen/alat pendidikan bagi anak-anak (remaja). Dalam perjanjian lama misalnya kita menjumpai bahwa Tuhan mewajibkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya dalam iman dan kasih kepada Tuhan dan sesama. Contoh yang paling konkret jelas sekali dalam Ulangan 6 : 1-7. yakni, setelah Tuhan memberikan hukum-hukumNya kepada bangsa Israel sebagai umat Tuhan pada waktu itu, mereka sendiri harus berpegang dan menjalankan hukum-hukum Tuhan itu. Tetapi selanjutnya ada keharusan pula untuk mengajarkannya kepada anak-anaknya berulang kali dan membicarakannya pada waktu duduk dirumah, atau sedang dalam perjalanan, apabila sedang berbaring atau bangun. Jadi, disini kewajuban mendidik itu dilakukan tidak saja secara verbal, tetapi juga dengan contoh hidup melalui kehidupan mereka bersama-sama dengan anak-anak mereka.[11]

b. Gereja

Interaksi dalam sebuah hubungan sosial tidak hanya dibangun didalam keluarga, yakni diantara angotanya, Interaksi sosial justru dapat seluas mungkin dibangun sejauh yang berinteraksi adalah manusia sebagai mahkluk sosial. Untuk itu maka hubungan atau interaksi sosial inipun dapat dibangun diantara manusia yang memiliki kepercayaan yang sama dan hidup bersama dalam sebuah komunitas iman. Gereja sebagai persekutuan iman juga merupakan tempat berinteraksi yang tidak dapat tidak juga memberi pengaruh terhadap pembentukan identitas diri seseorang khususnya lagi persekutuan iman ini mempunyai pengaruh cukup besar terhadap pertumbuhan iman.

Gereja dalam hal ini sebagai komunitas iman selain merupakan tempat bersekutunya orang-orang dengan kepercayaan yang sama juga sekaligus dapat menjadi tempat dimana individu-individu kristen dapat berinteraksi dan membangun hubungan sosialnya. Digereja orang-orang berkepercayaan sama ini bertemu, berkumpul dan bersekutu terhadap Allah yang mereka imani bersama. Dalam persekutuan tersebut sudah tentu orang-orang didalamnya membangun interaksi yang tentunya dapat saling memberi pengaruh terhadap masing-masing anggotannya. Interaksi-interaksi dan pengaruh-pengaruh inilah yang dapat berpengaruh terhadap pembentukan identitas diri seseorang. Jelas seperti yang dikatakan oleh para sosiolog bahwa lingkungan sosial (dalam hal ini gereja sebagai persekutuan iman) mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan identitas pribadi seseorang.

Pengaruh yang didapat dalam pergaulan pada sebuah persekutuan iman tentunya tidak sebesar pengaruh orang tua dalam sebuah keluarga terhadap diri seseorang, tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa tumbuh dan berkembang bersama dengan orang-orang lain dalam komunitas iman ini tidak mungkin tidak juga ikut memberi pengaruh. Misalnya, seseorang remaja yang sejak masa kecilnya dituntun orang tua untuk dibaptis dan belajar pada sebuah sekolah minggu, kemudian persekutuan remaja gereja, dan pada akhirnya bergabung dalam persekutuan iman orang dewasa pada sebuah gereja sudah tentu memiliki pertumbuhan iman yang sangat terpengaruh dari bentuk-bentuk atau nilai-nilai kristiani yang diajarkan demikian pula identitas diri yang pada akhirnya terbentuk juga adalah identitas diri yang kristen. Sebaliknya seorang remaja yang sejak masa kanak-kanaknya tidak dituntun dan bertumbuh dalam bimbingan sebuah komunitas kristen sudah tentu tidak akan memiliki pertumbuhan iman yang kristen ataupun memiliki identitas diri sebagai seorang Kristen. Yang terpenting adalah bentuk pengajaran yang dilakukan yakni pendidikan agama kristen yang diberikan dari pihak gereja harus merupakan proses pembelajaran yang berlangsung secara terus-menerus. Sehingga nilai-nilai yang diajarkan dapat tertanam dengan baik.

c. Sekolah

Karena pembentukan identitas ini terjadi pada masa remaja yakni pada usia sekolah, maka sekolah juga menjadi salah satu faktor yang penting. Oleh siapa ia dididk, dengan siapa ia belajar, dan apa-apa saja yang diajarkan tentu menjadi penting juga dalam rangka pembentukan identitas diri dan pertumbuhan iman. Pdt. Nuhamara seorang ahli PAK mengatakan bahwa PAK sebagai salah satu wujud pendidikan agama di sekolah mempunyai peranan yang strategis. Ia berpendapat bahwa peranan yang khas dari sekolah adalam tempat dimana proses belajar mengajar, dalam arti formal terjadi secara sistematis dan dalam waktu yang cukup lama (berkesinambungan) dengan kurikulum yang jelas berjenjang dari TK sampai PT. Pada gilirannya ini akan sangat membantu perkembangan pengertian, pemahaman, dan pengetahuan religius.[12] Pengertian, pemahaman dan pengetahuan yang didapatkan disekolah inilah yang menjadi penting dalam rangka memberi pengaruh-pengaruh dalam pertumbuhan iman. Pada masa remaja inilah proses pembelajaran dan sosialisasi di sekolah menjadi penting untuk diperhatikan. Pengaruh-pengaruh dari setiap proses pembelajaran maupun interaksi-interaksi sosial yang terjadi dengan sesamanya diharapkan dapat memberi nilai dalam pertumbuhan iman yang kuat terhadap Tuhan. Untuk itu selain nilai-nilai agama, menjadi penting pula membangun hubungan baik dengan sesama sebagai rekan di sekolah yang secara bersama-sama menolongnya untuk bertumbuh bersama dalam imannya. Urusan iman memang merupakan hal yang sangat pribadi antara dirinya dengan Tuhan, namun dalam proses pertumbuhannya seseorang membutuhkan orang lain yang berada bersama-sama dengannya dalam sebuah lingkungan sosial untuk dapat saling memberi pengaruh. Disekolah misalnya seseorang akan belajar nilai-nilai agama bersama dan dalam kebersamaan itulah ada pengaruh-pengaruh yang akan diberikan dan diterima dalam rangka pertumbuhan iman. Namun bagaiman iman tersebut akan bertumbuh tergantung dari masing-masing pribadi yang mendapat pengaruh tadi. Dan terlepas dari itu, Bagaimanapun juga cerminan dari iman terhadap Tuhan haruslah nampak lewat hubungan atau relasi sosial terhadap sesama ciptaanNya.

4. Kesimpulan

Keluarga, gereja, dan sekolah bertanggungjawab atas pembentukan iman dan bersama-sama dengan lingkungan sosial yang lebih luas yakni masyarakat memberi pengaruh terhadap pembentukan identitas diri. Sebaliknya pembentukan identitas diri dengan pertumbuhan iman yang baik dapat menempatkan seseorang ditengah-tengah lingkungan masyarakatnya sebagai pribadi yang utuh, menjadi berkat dan dapat memberi nilai-nilai positif kepada sesama dalam hidup bermasyarakat.

Bagaimana hubungan dalam keluarga dan pembelajaran nilai-nilai kristiani dengan orang-orang seiman di gereja, serta proses pembelajaran dengan interaksi-interaksi sosial yang terjadi di sekolah pada usia remaja memberi pengaruh besar terhadap pembentukan identitas diri dan pertumbuhan imannya. Untuk itu keluarga Kristen, Gereja, dan sekolah yang menjadi tempat bersosialisasi dan terjadinya proses pembelajaran dan penanaman nilai-nilai agama haruslah merupakan tempat yang tepat. Agar terbentuklah seseorang dengan identitas pribadi yang baik dan bertumbuh baik dalam iman kasihNya terhadap Tuhan yang nampak dalam kasih terhadap sesama.


DAFTAR PUSTAKA

 

Buku

Nuhamara D., 2007, Pembimbing PAK, Bandung : Jurnal Info Media.

Homrighausen & Enklaar. I. H., 2008, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Johnson Doyle Paul, Teori Sosiologi klasik dan modern 1, Jakarta : PT Gramedia Pustaka     Utama.

Johnson Doyle Paul, Teori Sosiologi klasik dan modern 2, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Susilo Rachmad K. Dwi, 2008, 20 tokoh Sosiologi Modern, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.

Hendropuspito D., O.C., 1990, Sosiologi Agama, Jakarta : BPK Gunung Mulia.

 

Website

https://edukasi.kompasiana.com/2011/12/07/identitas-diri/

https://fourseasonnews.blogspot.com/2012/05/pengertian-identitas-diri-self-identity.html

https://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465

 

 

[1] https://edukasi.kompasiana.com/2011/12/07/identitas-diri/

[2] https://fourseasonnews.blogspot.com/2012/05/pengertian-identitas-diri-self-identity.html

[3] D. Nuhamara, Pembimbing PAK, (Bandung : Jurnal Info Media, 2007), 52

[4] https://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465

[5] D. Nuhamara, Pembimbing PAK, (Bandung : Jurnal Info Media, 2007), 51

[6] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi klasik dan modern 1 (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 257.

[7] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi klasik dan modern 2 (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 103.

[8] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 tokoh Sosiologi Modern (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), 64-73

[9] Drs. D. Hendropuspito, O.C., Sosiologi Agama (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1990), 38

[10] Dr. E. G. Homrighausen & Dr, I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), 128

[11] Pdt. Dr. Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK,,.. hal 59

[12] Pdt. Dr. Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK,,.. hal 105
Artikel selengkapnya dapat didownload di sini

[iaknkupang.ac.id]